Takyif Fiqih Perjalanan Bisnis di dalam Trading - Karena trading meniscayakan adanya pembelian aset, kemudian harus dijual kembali ke pasaran di waktu mendatang dalam durasi kontrak tertentu untuk mendapatkan laba, maka trading pada dasarnya adalah bagian dari akad tijarah.
Fiqih Trading: Perihal Time Frame atau Durasi Waktu Kontrak
Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam teks fiqih turats, tujuan (muqtadla al-aqdi) dari seorang trader membeli produk emas, forex, atau sekuritas (auraq al-maliyyah) secara daring adalah untuk dijual lagi di waktu mendatang.
Waktu yang tepat untuk menjual lagi pun tidak bisa dibatasi, sebab tujuan
utama dari terjadinya akad jual beli adalah kepemilikan selamanya. Pembatasan
terhadap waktu penjualan, menjadikan pembelian suatu aset tidak bisa disebut
sebagai akad jual beli murni (bai’ mahdli).
والبَيعُ لغةً مُقابلةُ شيءٍ بشيء، فدخل
ما ليس بمال كخمر؛ وأما شرعا فأحسن ما قيل في تعريفه: أنه تمليك عين مالية بمعاوضة
بإذن شرعي، أو تمليك منفعة مباحة على التأبيد بثمن مالي
"Bai’ secara bahasa adalah pertukaran sesuatu dengan
sesuatu. (Dengan pemaknaan ini) maka masuk di dalamnya pertukaran sesuatu yang
tidak masuk dalam kategori harta, misalnya khamr. Adapun secara syara’, maka
yang paling bagus untuk pendefinisian jual beli, adalah suatu usaha memiliki
aset hartawi melalui jalan pertukaran yang diidzinkan syara’, atau usaha
memiliki suatu manfaat mubah, secara selamanya melalui pertukaran dengan harga
yang bersifat hartawi” (Muhammad Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathu al-Qarib).
Dari sini timbul permasalahan cabang, yaitu bagaimana bila akad pertukaran
itu meniscayakan dibatasi oleh durasi waktu/lama kontrak? Ada beberapa alasan
yang dikemukakan oleh para fuqaha’.
Penyerahan uang kepada pihak lain tanpa disertai adanya pertukaran namun
dibatasi oleh waktu kontrak (hulul al-ajal), adalah ciri utama dari akad
utang. Misalnya, saya menyerahkan uang kepada Anda, untuk dikembalikan pada 2
hari setelahnya, maka akad penyerahan ini termasuk akad utang (qardl).
Durasi 2 hari yang terjadi antara waktu penyerahan dan waktu kembalinya
uang disebut durasi jatuh tempo utang (hulul al-ajal). Dalam akad
modern, istilah hulul al-ajal ini dikenal dengan istilah time
frame (TF).
Akad sebagaimana tergambar di atas ini sah, dengan catatan uang yang
dikembalikan tersebut besarannya sama dengan saat uang itu diserahkan. Jika
besarannya tidak sama, misalnya lebih besar dari saat menyerahkan, maka ada 4
kemungkinan akad, yaitu:
1. Sebagai qardlu
jara naf’an (utang menarik kemanfaatan) sehingga masuk kategori riba. Riba terjadi apabila syarat kelebihan tersebut
ditetapkan besarannya di muka
2. Sebagai hibbatu
al-tsawab, dan boleh, dengan catatan pengembalian lebih tersebut tidak
disyaratkan di muka
3. Sebagai akad wadli’ah,
apabila jumlah uang yang dikembalikan lebih kecil dari uang yang diserahkan.
Syarat sah dari akad ini adalah apabila pengembalian lebih kecil tersebut
ditetapkan oleh pihak yang memberi utang (muqridl).
4. Secara dhahir termasuk
memenuhi riba al-qardli, apabila pengembalian terjadi lebih
kecil dari uang yang diserahkan di awal tersebut dan pihak yang memberi utang
tidak menetapkan syarat pengembaliannya dan tidak rela. Risikonya, uang yang
tersisa, adalah masih menjadi tanggungan pengembalian dari qaridl.
Pertukaran Harga dan Barang dengan Batasan Waktu Kontrak (Time Frame)
Permasalahan di atas, terjadi manakala penyerahan uang kepada pihak lain
tidak disertai dengan adanya wasilah berupa barang. Bagaimana bila durasi
kontrak itu ditetapkan dengan disertai adanya wasilah berupa barang?
Berdasarkan bisa atau tidaknya uang yang diserahkan itu kembali, maka ada 2
pandangan:
Pertama, Penyerahan uang kepada pihak lain yang disertai dengan wasilah berupa
barang yang ditukarkan, merupakan inti utama dari akad jual beli. Barang yang
dibeli adalah sah menjadi hak milik pembeli (trader). Apabila
kepemilikan barang tersebut dibatasi oleh waktu, sehingga saat jatuh tempo yang
ditetapkan maka barang tersebut harus diserahkan lagi kepada pemilik asalnya,
tanpa adanya penyerahan uang kembali kepada pembeli yang durasi
kepemilikannya sudah habis, maka akad semacam ini pada dasarnya adalah
akad sewa manfaat (ijarah).
Misalnya, saya membeli mobil, dan setelah 2 hari mobil itu harus saya
kembalikan lagi ke “pemilik asalnya”, maka pada dasarnya akad semacam ini
adalah termasuk akad sewa. Saya menyewa manfaat mobil tersebut selama 2
hari. Tamliku al-manfaat (usaha memiliki manfaat) dengan
dibatasi oleh waktu, adalah ciri khas akad ijarah. Ciri dasarnya, uang yang
diserahkan oleh pembeli pertama, tidak kembali kepadanya lagi. Hanya barangnya
saja yang kembali.
Kedua, akad ijarah sebagaimana
kasus di atas ini, akan berubah menjadi akad gadai (rahn),
apabila penyerahan barang yang sudah dibeli, disertai keharusan pengembalian
uang kepada pihak yang pernah membelinya.
Misalnya, dalam kasus di atas, pihak pemilik barang, menyerahkan kembali
uang yang pernah ia terima dari saya, ke saya lagi - selaku pihak yang pernah
membeli barang miliknya. Syarat sah (dlabith) berlakunya akad ini adalah
uang yang diserahkan kembali kepada saya, harus berjumlah sama dengan uang di
mana saya menyerahkan uang tersebut di awal, yaitu waktu sebelum saya membawa
barang. Jika terjadi kelebihan, maka termasuk riba qardli, sebagaimana
ketentuan yang sudah disampaikan dalam akad qardl di atas.
Derivasi Akad Gadai
Akad gadai, ditengarai dengan barang yang dibeli (barang gadai), kembali
kepada pemilik asalnya. Uang yang diserahkan pembeli kepada penjual, jumlahnya
harus sama dengan uang yang diserahkan kembali oleh penjual kepada pembeli.
Time Frame (TF) penyerahan kepemilikan, diketahui sebagai kemakluman. Barang
gadai bisa dilelang, bila pada saat jatuh tempo, pihak yang berutang tidak bisa
melunasi utangnya. Status barang adalah sebagai watsaiq (jaminan
kepercayaan).
Persoalannya, ketika barang yang dibeli harus dijual kembali oleh
pihak pembeli ke pasar saat batas waktu jatuh tempo yang ditetapkan (Time
Frame) dan sifat penjualan barang, dilakukan ke pasar secara otomatis (ijbary).
Pembeli barang tersebut, terdiri dari trader lain yang bukan trader awal
selaku pemilik barang sebelumnya.
Dengan mencermati kasus terakhir, maka takyif fiqih dari
akad di atas dapat diuraikan rinciannya sebagai berikut:
1. Kepemilikan barang
(sil’ah) adalah sah menjadi milik pembeli pertama
2. Adanya kesepakatan
yang terjadi antara penjual pertama dan pembeli pertama untuk melepaskan barang
di pasaran saat waktu ke depan yang disepakati (Time Frame/TF), adalah termasuk
akad muwa’adah (saling janji). Akad ini merupakan fondasi
dari future contract (kontrak berjangka).
3. Pada dasarnya
akad muwa’adah adalah bagian dari akad bai’ bi
al-wa’di (jual beli yang disertai dengan janji).
4. Ditilik dari asal
ketentuan akad jual beli, akad bai’ bi al-wa’di adalah tidak
boleh karena bersifat memperlemah status kepemilikan pembeli terhadap barang,
sebab hak pembeli adalah hurriyatu al-tasharruf (bebas menjual
barang yang dimilikinya kapan saja ia mau dan di waktu ia ingin melakukan)
5. Adanya ikatan harus
menjual di waktu tertentu ke pasar, menandakan pihak pembeli terikat untuk
tidak menasarufkannya selama beberapa waktu yang telah ditetapkan sehingga
bertentangan dengan karakteristik hurriyatu al-tasharruf.
6. Pelepasan sil’ah secara
paksa setelah waktu kontrak kepemilikan telah habis, menandakan ada pihak lain
yang mengintervensi kepemilikan orang lain (al-tadakhul fi milkiyyati
al-ghair).
7. Intervensi orang lain
(selain pemerintah) terhadap hak milik orang selainnya, adalah termasuk
tindakan kedhaliman (pelanggaran hak), kecuali diizinkan oleh
pemiliknya, atau menjadi wakil pemilik.
8. Penjualan hak milik
orang lain secara paksa setelah jatuh tempo yang disepakati, adalah boleh
dengan catatan:
a. Jika ada kesepakatan
akad gadai dan terjadi penundaan pelunasan utang gadai oleh pihak yang
mengajukan gadai. Dalam trading, jika akad jual beli efek itu diserupakan
dengan akad gadai, maka kedudukan pihak trader adalah selaku yang berperan
sebagai pegadaian. Sementara itu, pihak emiten adalah selaku pihak yang
berutang. Alhasil, menempatkan trading ke dalam akad ini justru menjadikan
skema trading adalah menjadi rahn yang fasad karena
harga pelelangan tidak mukafaah (setara) dengan harga beli di awal.
b. Pihak pemilik barang
adalah orang yang muflis (bangkrut) sehingga dicegah (hajr)
dari penasarufan hartanya
c. Pihak yang menjual
adalah pihak yang diizinkan oleh pemilik barang, atau menjadi wakil dari
pemilik barang. Dalam trading, pihak trader adalah bertindak selaku pemilik
barang. Pihak broker adalah pihak yang berlaku sebagai wakil pemilik barang
(wakalah) atau bertindak selaku pihak yang diizinkan oleh pemilik barang
(samsarah)
d. Jika yang menjual
adalah pihak “pembeli pertama” itu sendiri tanpa wakil, maka akad ini dinamakan
dengan akad bai’ tawarruq, yang sah menurut Imam Abu Hanifah,
Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Namun, pola ini jelas tidak memungkinkan
diterapkan dalam trading, disebabkan adanya broker yang terikat kontrak dengan
trader.
e. Jika yang menjual
adalah pihak “penjual pertama”, maka dinamakan akad penyertaan modal sehingga
masuk dalam rumpun akad qiradl, mudlarabah atau bai’
murabahah dengan catatan bahwa pihak “penjual pertama” adalah pihak
yang bergerak dalam unit pengembangan harta (tamwil). Akad ini juga
tidak mungkin dilakukan dalam trading disebabkan posisi broker di atas yang
terikat kontrak dengan trader.
f. Jika penjualan
dilakukan oleh pihak wakil atau orang yang diidzinkan menjual dan membelikannya
(misalnya: broker), maka akad tersebut adalah akad bai’ mubah. Akad ini yang
paling memungkinkan untuk bisa diterapkan di dalam trading, seiring keterikatan
kontrak
g. Sebagai catatan, bahwa saat terjadi pelelangan efek
pada batas waktu kadaluwarsa (TF), barang ada di bawah kekuasaan tasharruf
trader.
9. Mensyaratkan kepada
pihak lain untuk menggunakan uang yang sudah diserahkan saat terjadi kriteria
tertentu, atau terjadi kondisi tertentu adalah termasuk rumpun akad perwakilan.
10.Pihak wakil berhak
melelang barang yang sudah dibeli trader yang diwakilinya, tanpa seijin pihak
muwakkil.
Takyif Fiqih Perjalanan Bisnis di dalam Trading
Trading merupakan akad pembelian valuta asing (valas) atau sekuritas, yang
dimaksudkan untuk dijual kembali pada waktu tertentu sehingga meniscayakan
adanya kontrak penjualan atau pembelian yang dilakukan oleh pemilik barang
(trader) dengan wakilnya, berdasarkan kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan
oleh trader/pemilik barang, setelah pemilik tersebut mencermati analisis
pergerakan harga, yang dilakukan melalui instrumen komunikasi tertentu yang
disediakan oleh pihak yang menjadi wakil.
Karena trading meniscayakan adanya pembelian aset,
kemudian harus dijual kembali ke pasaran di waktu mendatang dalam durasi
kontrak tertentu untuk mendapatkan laba, maka trading pada
dasarnya adalah bagian dari akad tijarah.
Namun karena di dalam trading, terkandung di dalamnya perintah pemilik aset
kepada wakil yang disampaikan melalui suatu media (wisathah), dengan
jenis perintah berupa:
·
Untuk melakukan aksi melakukan jual atau beli aset
pada waktu yang ditetapkan kriterianya oleh pemilik aset
·
Untuk menghindar dari kerugian melalui perintah stop
loss pada kondisi tertentu yang ditetapkan kriterianya oleh pemilik aset
·
Untuk mengambil keputusan yang menguntungkan melalui
perintah take profit pada kondisi tertentu yang ditetapkan kriterianya oleh
pemilik aset
·
Instrumen komunikasi penyampaian perintah antara
pemilik aset dan wakilnya adalah berbasis software otomatis yang sudah
diprogram dengan standar kualifikasi tertentu oleh perusahaan broker dan sudah
tersertifikasi dengan baik
·
Isi pesan perintah meniscayakan dipahami oleh broker
sebab media yang digunakan untuk komunikasi adalah didesain secara khusus oleh
broker dan diajarkan kepada trader lewat akun demonya
·
Sifat dari perintah adalah menyerupai bahasa
pemrograman mesin ATM yang niscaya bisa dipahami oleh admin perbankan penyedia
mesin.
Dengan memperhatikan karakteristik penyampaian pesan ini, maka secara umum,
relasi antara pihak trader dengan perusahaan penerbit efek (emiten) bisa
diklasifikasi sebagai berikut:
1. Relasi trader dengan
emiten penerbit sekuritas, adalah termasuk relasi akad penyertaan modal (musahamah).
2. Relasi antara trader
dengan trader lain adalah relasi akad hiwalah.
3. Relasi antara trader
dengan pedagang valas, adalah termasuk relasi akad sharf
Ditilik dari karakteristik mabi’ dalam trading adalah
terdiri dari efek (auraq al-maliyah) atau valas yang penjualannya harus
dilakukan di pasar modal (aswaq ra’si al-maliyah) sehingga bersifat
terbatas pangsa pasarnya (harus melalui broker yang sama), maka:
·
Karakteristik penjualan aset secara ijbary berbasis
waktu kontrak yang terbatas tersebut, adalah merupakan relasi yang menjadi
sebuah keniscayaan (kelaziman)
·
Tradisi yang berjalan terus menerus dan menjadi
kelaziman di suatu tempat, adalah merupakan bagian dari urf.
·
Urf adalah bagian dari yang dipertimbangkan dalam
penetapan hukum dan menempati maqam syarat (al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruthi
syarthan).
Dengan mempertimbangkan berbagai hal di atas, maka penetapan durasi waktu
kontrak (Time Frame) pada aktivitas perdagangan di pasar berjangka (trading)
dengan menggunakan instrumen komunikasi antara trader dan wakilnya, yang mana
instrumen tersebut telah tersertifikasi dan dijamin secara hukum dan peraturan
yang berlaku, hukumnya adalah boleh.
Status hukum fiqih yang berlaku atas penetapan durasi waktu kontrak
tersebut adalah:
1. Menempati
derajatnya 'urf, seiring tradisi yang berlaku sebagai kelaziman di
pasar modal, dan
2. Bila tidak mengikuti
tradisi tersebut justru berakibat dlarar (kerugian), antara
lain:
a. Bagi trader, kerugian
itu justru bertentangan dengan tujuan utama dari ikut serta dalam pasar modal,
yaitu sebagai wahana melakukan akad tijarah
b. Bagi perusahaan,
kerugian terjadi karena tujuan dari diadakannya pasar modal adalah sebagai
wahana crowdfunding (urun modal). Kemacetan aktivitas jual
beli efek, adalah sama artinya dengan macetnya aliran mencari modal secara
gotong royong. Ketiadaan trader dalam negeri, adalah sama saja dengan
menyerahkan perusahaan kepada investor asing, sebab dalam penyertaan modal
meniscayakan kepemilikan sebagian dari aset perusahaan
Wallahu a’lam bish-shawab
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok
Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Hubungi Saya Via WhatsApp